Telepon Aku dong, please

Selasa, 21 Agustus 2007 12:19 WIB | 4.797 kali
Telepon Aku dong, please Bagi anak, telepon merupakan benda yang sangat menarik. Nada ponsel yang beragam menambah rasa ingin tahu anak Gadget 'ajaib' itu lantas mereka sentuh, diajak bercakap dan kemudian dibantingnya.Ups...

“Halo, kamu di mana? Oh...di Pasar Baru. Aku lagi di DT (Daarut Tauhiid, red) nih. Kamu ngapain? Haaaah? Di sana ada dinosaurus? Masa...? Masa...? Oke, aku sekarang naik bis nih... Penuh, ke Jatinagor...”

Begitulah percakapan Azka, 3 tahun, yang sedang asik melakukan telepon imaginer. Dengan gaya dan mimik orang dewasa, gerak-geriknya itu terang saja membuat sang Bunda tersenyum.


***


Tentunya tak sedikit anak yang melakukan telepon imaginer atau telepon-teleponan seperti Azka. Apakah anak Anda sering melakukannya? Bila kita dengar dengan seksama obrolan anak saat bertelepon, sepertinya selalu aja ada 'keajaiban' yang muncul. Berkali-kali imajinasi kreatif itu terlontar dari mulut anak.

Perkembangan jaman turut mempengaruhi perilaku manusia. Saat ini, anak masa kini, bahkan bayi pun sudah 'melek' teknologi. Lihat saja gerak-gerik mereka saat menemukan handphone, kamera digital, hingga laptop tergeletak. Komat kamit mulut mungil itu menempel pada telepon yang posisnya terbalik. Tangan yang tak lebih besar dari kamera digital pun meniru gaya fotografer profesional. Jari tangan bahkan kadang kaki menyentuh tuts komputer penuh semngat.


Permainan Simbolis


Akhir-akhir ini Alya sering kali cemas saat Fajar, anak sulungnya yang berusia 2 tahun, berhasil menemukan ponsel miliknya. maklum saja, ponsel Alya sebelumnya 'wafat' setelah Fajar melakukan eksperimen, menyelupkan ponsel ke dalam gelas berisi susu.

Alya berusaha mengalihkan perhatian Fajar pada ponsel dengan beargam cara. Mulai dari mengajaknya bermain petak umpet hingga memeperlihatkanmobil-mobilan kesayangannya. Hasilnya? Nol besar. Fajar memang sempat melirik Alya, tapi segera saja ia asik bermain ponsel kembali.

Secara naluri, ponsel memang menarik perhatian anak. Menurut Fitri Ariyanti A., Psi, saat anak bisa bergerak secara mandiri, baik itu mengesot atau merangkak, sejak itu pulalah anak mulai bereksplorasi dan menunjukkan keingintahuannya pada berbagai benda di sekitarnya. Apalagi benda-benda yang dapat ia lihat dan dengar secara aktif. Ekspresi orang tua saat bercakap-cakap dengan seru dan asik menggunakan berbagai intonasi, diiringi beragam ekspresi wajah saat memegang telepon tentu menggelitik rasa ingin tahu anak.

“Bagi anak di bawah usia satu tahun, biasanya ketertarikan itu ditunjukkan dengan mendekati ayah atau yang sedang menggunakan telpon, “merebut” telepon yang sedang digunakan kemudian asik memamainkannya. Bahkan tak jarang telepon tersebut dimasukkan ke mulut, dibanting-banting, dan sebagainya,” tutur fitri yang anak keduanya, Umar ternyata punya hobi serupa terhadap ponsel.

Sedang, pada anak yang sudah mulai memasuki tahap meniru, usia satu tahun ke atas, biasanya ia mulai meniru penggunaan telepon seperti yang biasa ia lihat, misalnya menempelkan gagang telepon ke telinga atau menekan-nekan tombol ponsel. Setelah anak mulai belajar mengucapkan kata, biasanya anak mulai “berbicara” di telepon. Misalnya mengucapkan kata “halo”. Lalu menirukan gesture dan ekspresi yang sering ia lihat dari orang terdekatnya saat menggunakan telepon.

Selanjutnya, untuk anak di atas uasia dua tahun, biasanya mereka sudah menggunakan telpon seperti sesungguhnya. Mereka menirukan ekspresi dan bahasa yang persis digunakan oleh orang yang terdekat yang dilihatnya kala menggunakan telepon. Tahap selanjutnya, mereka membayangkan ”teman imajiner” yang bicara dengan mereka. Topiknya pun ia kreasi sendiri, terkadang “menakjubkan”. Seperti telepon imajiner yang Azka lakukan di atas. Ketika Azka bepergian, tak lupa ponsel mainan pun ia bawa serta. Ia merasa seperti orang-orang dewasa di sekitarnya.

Fitri yang aktif menjadi konsultan di Sekolah Alam Bandung mengartikan saat anak bermain telepon, berarti ia sedang menunjukkan tahap bermain simbolis. Ketika anak melakukan permainan tersebut bersama teman-temannya, ini akan menjadi media sosialisasi yang amat baik.


Rangsang Anak Lebih Cerewet


“Allow...Assalamu'alaikum, Bi. Abi sibuk ya? kangen ni” cerocos Nurul seru. Abi yang sedang dududk di sofa sambil melepas lelah sepulang kerja, langsung tersenyum geli.

“Aha! Ini kesempatan emas untuk meraih anak. Alhamdulillah Rabb,” pikir Abi segera dalam hati. tangan abi berpantomim meniru gerak orang menerima telepon dan segera angkat bicara meladeni buah hatinya.

Saat anak mulai dapat meniru walaupun hanya meniru gerakan menelepon secara kasar, sebenarnya kita sudah bisa “menemani” anak main telepon, ajak ia bicara lewat telepon mainan atau benda lain yang dapat digunakan sebagai tekepon. “Walaupun anak tidak merespon, biarkan saja. Insya Allah, telepon imajiner ini bermanfaat, permainan ini sangat bermanfaat untuk mengembangkan aspek imajinasi dan bahasa anak.

Ada kalanya mood anak dan orang tua tidak 'nyambung'. Saat anak mengajak bermain, mungkin saat itu orang tua sedang mumet. Kita bisa saja meminta orang lain, pasangan kita atau bahkan pembantu untuk 'melayani' permintaan anak. Namun, bila kita paksakan untuk bermain telepon bersama anak, Insya Allah hasilnya akan berbeda. Kita akan semakin dekat dengan anak, dan mumet pun menghilang. Insya Allah.

Ingin 'melarang' sesuatu pada anak namun tak ingin terlalu vulgar? Tak ada salahnya menggunakan permainan imajiner sebagai alat. Fitri coba memberi saran, “Untuk anak yang lebih besar, usia 2 atau 3 tahun, Anda bisa coba menjelaskan itu lewat “telepon”. Termasuk menjelaskan kalau Anda sedang lelah sehingga tidak bisa bermain terlalu lama. bisa juga memberi alternatif pada anak untuk bermain telepon-teleponan dengan boneka kesayangannya”. Usahakan tetap berada di dekat si kecilo meski tak ikut bermain. Karena, jika anak sering “dicuekin”, bisa jadi ia mempersepsi bahwa dirinya tidak berharga.

Permainan telepon imajinatif intinya bermain pura-pura (role playing) yang merupakan indikator perkembangan kognitif anak, khususnya perkembangan imajinasi dan perkembangan bahasanya. Masih menurut wanita lulusan profesi Psikologi Unpad ini, permaianan telepon imajinatif dapat menjadi media bagi anak mengeluarkan problema emosinya. Misalnya, anak kesal pada temannya, maka ia bisa “memarahi” temannya tersebut dalam permainan pura-pura, lewat telepon imajinatif. Dalam bahasa psikologi, pelepasan emosi ini di damakan katarsis.

Dengan manfaat segudang, tetap saja permainan telepon imajinatif ini sebuah permainan. Dimana anak melakukannya untuk kesenangan dirinya. Walau terlibat dalam permainan tersebut, orang tua tetap berstatus pendamping atau apresiator. Tak perlu mengintervensi apapun yang anak pilih untuk ia perankan. Biarkan anak memilih topik percakapan, memilih kata-kata yang ingin ia ucapkan, hingga mengembangkan khayalannya. Wallahu'alam Bisawab.



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB