Irilah

Kamis, 15 Januari 2009 18:59 WIB | 5.197 kali
Irilah

Pada tanggal 8 Nopember 2008, kami mendapat kesempatan berjumpa dengan teman-teman di komunitas TDA (Tangan Diatas) sekitar 250 orang dan mendapat kesempatan membahas “The Unlocking Pontential Power In Business”, yaitu membuka gembok-gembok potensi dalam bisnis. Dialog pembahasan ini, kami membahas tentang bagaimana cara membuka gembok-gembok potensi dalam berbisnis. Salah satunya adalah kita harus berani meningkatkan rasa iri kepada dua hal yaitu kita harus belajar menumbuhkan rasa iri kepada orang-orang yang berharta dan mengamalkan hartanya serta kepada orang-orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya.  Keesokan harinya yaitu tanggal 9 Nopember 2008, kami membuka http://jamil.niriah.com/2008/11/09/iri-lah/, rupanya Bapak Jamil Azzaini yang pada saat itu ada dalam forum tersebut, dan beliau adalah seorang konsultan manajemen dengan bukunya kubik leadership, terispirasi oleh bahasan tadi, beliau menulis sebagai berikut:

Selama ini saya sering mendengar seruan buanglah penyakit hati, salah satunya adalah iri.  Namun pada acara halal bihalal TDA (Tangan Diatas) pada Sabtu, 08 Nopember 2008 di Daarut Tauhid Bandung para undangan yang hadir malah diserukan untuk iri.  Sang penyeru bernama mas Amri yang memiliki pekerjaan bersepeda dan hobi konsultan itu. “Kalau Anda ingin jadi pengusaha beneran, Anda harus iri”

 

 

Kepada siapa kita boleh iri? hanya kepada dua golongan saja.  Pertama, orang kaya yang dermawan.  Kedua, orang berilmu yang mengamalkan ilmunya.  Dengan penjelasan itu pikiran sayapun jadi menerawang kepada sahabat-sahabat saya yang tergolong menjadi dua kelompok tersebut.

Orang yang kaya dermawan.  Saya langsung teringat sahabat saya Happy Trenggono. Saat ini mas Happy sedang giat investasi di bidang alat-alat berat dan perkebunan.  Pekan lalu saya baru bertemu mas Happy, dia baru saja menandatangani investasi di bidang perkebunan senilai Rp 2 trilyun.  Melalui PT Balimuda ia mengembangkan bisnisnya di luar pulau Jawa.

Walau dia sibuk bisnis, ia tak melupakan nasib orang-orang yang kurang beruntung dari aspek ekonomi.  Setiap pekan rumahnya dihadiri ratusan orang-orang miskin untuk mendapat jatah makanan.  Bahkan ketika menjelang lebaran lalu, dia menyewa helikopter untuk pulang ke kampung karena tidak ingin terlambat membagikan bantuan kepada ribuan orang di kampungnya.  Sensasi? tidak.  Karena dia lakukan itu bukan karena ingin publisitas. Dia lakukan karena memang ingin membantu.  Wah, betapa iri-nya saya.

Saya juga teringat sahabat saya, Iskandar Zulkarnain.  Kaya raya, bisnisnya tersebar di mancanegera. Menjadi komisaris di berbagai perusahaan di Indonesia. Namun dia rela membagi-bagi nasi bungkus sendiri di daerah konflik Maluku, Buton, Ternate, Poso, Aceh, Yogyakarya.  Diapun bersedia tidur di tenda-tenda bersama para pengungsi.  Wah, betapa iri-nya saya.

Saya juga ingat sahabat saya yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.  Mas Rohim, bukanlah dosen, bukan akademisi, bukan pakar dan bukan juga guru besar.  Ilmunya tidak seberapa dibandingkan mereka.  Namun ilmu sedikit yang ia miliki rela dibagi cuma-cuma kepada tiga ribu lebih anak jalanan di daerah Depok.  Ia membuat program bernama Master (Masjid Terminal).  Area masjid di terminal Depok dia jadikan tempat belajar gratis para anak jalanan. Ia angkat harkat dan martabat anak-anak jalanan agar kelak tidak lagi hidup di jalanan. Hasilnya, ribuan anak telah diberdayakan.  Wah, betapa irinya saya.

Saya juga punya sahabat ahli tanaman organik.  Bahkan dia pernah berguru ke Jepang untuk mendalami ilmunya. Syamsudin namanya.  Putra Brebes ini kini sedang kuliah S-3 di IPB Bogor.  Ilmu yang ia miliki dibagikan cuma-cuma kepada ribuan petani di berbagai daerah.  Ia membentuk LPS (Lembaga Pertanian Sehat).  Ribuan petani meningkat taraf kesejahteraannya, karena dengan tanaman organik yang dikembangkan para petani meningkat penghasilannya.  Saya pernah bersama beliau mengunjungi desa yang ia bina dan mencicipi makanan organik yang dihidangkan petani. Para petani sangat hormat dan sangat dekat dengan mas Syamsudin.  Wah, betapa iri-nya saya.

Sahabat CyberMQ

Ya, kita memang harus iri kepada mereka. Tanpa kekuatan rasa iri pada orang kaya yang mengamalkan hartanya dan orang berilmu yang mengamalkan ilmunya, nanti akan muncul empat penyalit sekaligus. Pertama, kita akan sulit untuk menjadi orang kaya yang mengamalkan hartanya. Kedua, kita akan sulit untuk menjadi orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Ketiga, kita akan bisa jadi kaya, namun pelitnya minta ampun. Keempat, kita akan menjadi orang yang berilmu, namun ilmu yang hanya ada dikepala dan tidak pernah bermanfaat bagi banyak orang, bisanya hanya mengamati saja tanpa bisa menjadi contoh. Kelima, kita akan seumur-umur menjadi orang miskin harta dan ditambah miskin amal, orang kelompok ini penyakitnya adalah selalu curiga atas kekayaan orang lain. Keenam, kita akan menjadi orang yang tidak pernah bertambah ilmunya, selalu terperosok dalam lubang yang sama dan tidak pernah bisa mengambil pelajaran darinya, penyakit yang timbul adalah selalu merasa dirinya benar dan orang lain salah.

Berani menghadapi rasa iri pada orang kaya yang mengamalkan hartanya dan orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Atau seumur hidup akan tetap miskin pada dua sektor itu !!! Bagaimana pendapat sahabat ???

Masrukhul Amri: Seorang Knowledge Entrepreneur-pengusaha gagasan, bertempat tinggal di hp. 0812-2329518, Aktivitas sehari-hari sebagai Konsultan Manajemen Stratejik-Alternatif dan Director The Life University; Reengineering Mindsets - Unlocking Potential Power. Spesialis konsultasi alternatif di beberapa perusahaan nasional dan multi nasional MBA-Main Bersama Amri di CyberMQ dan dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan luar Bandung. Mottonya adalah mari sama-sama belajar menjadi yang terbaik. Website http://amri.web.id http:/masamri.multiply.com e-mail : amri{at}mq{dot}


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Gagal Yang Sukses
Selasa, 10 Desember 2013 05:17 WIB
Dunia Semakin Sempit, Hati Harus Semakin Luas
Selasa, 12 November 2013 06:04 WIB
Maafkan Aku, Ayah dan Ibu.!
Senin, 20 Mei 2013 06:13 WIB
Kesalahan Pola Hati
Kamis, 27 Mei 2010 13:41 WIB